Lompat ke isi utama

Berita

Catatan Pascapilkada 2020

Oleh: Nur Elya Anggraini (Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur)

SUMBER : Koran Jawa Pos Edisi Kamis, 25 Februari 2021

BILA tidak ada aral, pemerintah akan melantik kepala dan wakil kepala daerah terpilih tahap pertama pada akhir Februari ini. Inilah momentum untuk kembali menilai demokrasi kita. Sudah substansial atau masih prosedural dengan berpijak pada evaluasi tahapan dan peran serta masyarakat dalam perumusan kebijakan.

 Bawaslu mencatat sejumlah fakta dalam penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi itu. Pertama, tingkat partisipasi cukup baik dan menggembirakan. Kehadiran pemilih ke TPS mencapai 76,09 persen. Angka ini melampaui partisipasi pilkada lima tahun sebelum-nya, yakni pilkada 2015 dengan angka 68,82 persen. Namun, bagi Bawaslu, partisipasi tidak sekadar menjumlah berapa pemilih yang masuk bilik suara. Bawasiu juga menandai berapa banyak masyarakat yang berpartisipasi ikut mengawasi pilkada.

Hingga akhir Januari 2021, Bawaslu menerima 1.542 laporan masyarakat berkenaan dengan dugaan pelanggaran selama pilkada berlangsung. Yang paling banyak adalah pelanggaran netralitas ASN, pelanggaran protokol kesehatan, mutasi jabatan berujung rekomendasi pembatalan paslon, pel anggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan tindak kejahatan alias pelanggaran pidana pilkada.

Dalam catatan Bawaslu, kasus netralitas ASN cukup dominan Jumlahnya lebih dari I .000 kasus. Pada sisi ini, media sosial cukup memberikan kontribusi besar sebagai saluran ekspresi aparatur yang tidak menjaga sikap netralnya.Komisi  ASN telah menjatuhkan sanksi terhadap mereka.

 Kedua, problem data pemilih dan kewarganegaraan. Ini masalah klasik yang membuat pilkada tidak asyik. Setidaknya mencuat kasus kepala daerah terpilih Kabupaten Sabu Raijua, Orient Patirot Riwu Kore, yang diduga memiliki kewarganegaraan ganda sehingga Bawaslu berkirim surat agar pelantikannya ditunda. Demikian juga, sengketa hasil yang tengah berlang-sung di Mahkamah Konstitusi banyak ditemui dalil pemohon berasal karena problem data pemilih.

Ketiga, 31 kasus kekerasan terhadap penyelenggara pilkada. Mayoritas korbannya pengawas perempuan. Ini terjadi karena  upaya pengawas menegakkan  protokol kesehatan dalam tahapan karnpanye. Dalam demokrasi, kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan.

Keempat, pilkada 2020 tidak menciptakan klaster baru penularan Covid- 19. Ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran bersama meng jaga keselamatan rakyat. Bawaslu menegakkan 2.126 kasus pelanggaran prokes selama dua bulan kampanye, pemetaan 49390 TPS rawan, dan memastikan alat pelindung diri (APD) tepat waktu. Ikhtiar ini menjadi bagian dari tidak adanya klaster plikada.

Kelima, penyelesaian sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari total 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, 132 perkara sedang beperkara di MK. Sebanyak 112 perkara dari pemillihan bupati, 13 pemillihan Wali Kota, dan 7 pemilihan gubernur. Fakta ini bisa ditarik dalam persepsi bahwa kontestasi berjalan sampai upaya terakhir dan memerlukan kesiapan seluruh pihak untuk menerima hasil akhir.

Dengan lima catatan itu, pergelaran demokrasi telah melangkahkan satu kakai menuju demokrasi subtansial. Walau pada sisi lain, kita melaksanakan demokrasi prosedural. Perlu tambal sulam dalam kerangka partisipasi, pengawasan, dan pelaporan pelanggaran, pemenuhan hak pilih, dan kekerasan terhadap penyelenggara.

Awasi Kebijakan

Kekuasaan yang diawasi akan melahirkan kesewenangwenangan. Simpul dari kelompok pemuda, agamawan, dan organisasi sosial harus terus berperan dalam menggerakkan masyarakat untuk kemajuan daerah masing-masing.

Masalahnya, peran pengawasan yang diharapkan memang tidak mudah. Survey nasional Indikator Politik Indonesia yang diselenggarakan 24-30 September 2020 menunjukkan 21,9 persen menyatakan takut untuk berpendapat; 47,7 persen responden setuju warga semakin takut menyampaikan pendapat; 20,8 persen setuju bahwa warga semakin takut berdemonstrasi; dan 53 persen warga agak setuju semakin takut berdemonstrasi.

Pemicunya adalah ketakutan atas penggunaan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pemicu lainnya adalah dugaan penggunaan buzzer untuk menyerang setiap person untukmembungkam kritik. Di samping juga yang ramai di jagat Twitter baru-baru ini adalah stereotipe radikal bagi yang melakukan kritik.

Fenomena yang terjadi secara nasional tampaknya dirasakan masyarakat di sejumlah daerah. Kepemimpinan telah berganti, tetapi upaya meredam kritik juga terjadi. Tertutupnya pintu dialog dalam melahirkan kebijakan akan memicu otoritarianisme.

Di sisi lain, kita melihat tipologi masyarakat di daerah belum sepenuhnya sadar akan pentingnya mengawasi kebijakan. Habis pemilihan, selesai sudah keterlibatan.

Dengan menggunakan kerangka kesadaran dari Paulo Freire berupa kesadaran kritis, magis, dan naif, sebagian masyarakat kita masih tergolong dalam kesadaran naif. Tanpa disertai nalar kritis. Akhirnya peran pengawasannya tidak dilakukan dan pemerintah daerah berjalan tanpa kontrol. Perilaku praktik korupsi akan rentan terjadi dari sepinya pengawasan masyarakat. Inilah perlunya menggerakkan pendidikan untuk membuka kesadaran masyarakat akan pentingnya pengawasan atas kebijakan.

Pendidikan Partisipatif

Sepanjang 2020, Bawaslu telah melangkah untuk peningkatan pendidikan politik masyarakat. Mulai menyelenggarakan sekolah kader pengawasan partisipatif (SKPP), membangun pola hubungan kerja sama dengan perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kepemudaan, hingga mendirikan pojok pengawasan yang dikemas dengan hibah buku hasil penelitian. Pada 2020 pula, Bawaslu berhasil mengadakan SKPP daring yang dikuti 20.665 pendaftar. Peserta SKPP berasal dari anak muda dengan rentang usia 21-30 tahun.

Yang telah dilakukan Bawaslu perlu dukungan lembaga lain. Pendidikan politik harus secara simultan dan berkelanjutan dilakukan. Tidak hanya cukup mengawasi proses tahapan pilkada, tetapi juga demi kepentingan mengawasi kebijakan.

Bila rakyat berdaulat dalam mengawasi kebijakan, sebenarnya demokrasi substansisal bisa kita wujudkan. Tanpa kesadaran kritis yang dibalut dengan peran pengawasan kebijakan, kita masih menyisakan satu kaki dalam demokrasi  prosedural. Pengalaman kita berbangsa dan bernegara tentu saja tidak hanya diikat teknis, tetapi juga substansi. Selamat kepada kepala daerah yang dilantik.

Tag
Berita
Opini