Bawaslu Dorong Perempuan Awasi Pemilu
|
Mojokerto - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Mojokerto menggelar kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif yang semua pesertanya melibatkan kaum perempuan. Kegiatan yang dihadiri sebanyak 120 perempuan itu digelar di Aula Hotel Raden Wijaya, Jalan Raden Wijaya, Kota Mojokerto, Selasa pagi (19/2). Acara yang turut dihadiri Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur Eka Rachmawati, digelar dalam rangka meningkatkan peran aktif perempuan, khususnya kaum perempuan di Kota Mojokerto, untuk ikut mengawasi pelaksanaan Pemilu 2019 yang tinggal 57 hari lagi. Sebab, pemilih perempuan selalu lebih banyak dari pada pemilih laki-laki.
Selain Eka Rachmawati, yang didapuk sebagai narasumber, turut hadir dua narasumber lainnya yaitu Anggota Bawaslu Kota Mojokerto Dian Pratmawati dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Mokojerto Syaiful Amin. Eka Rachmawati mengatakan bahwa politik bukan isu yang jauh dari perempuan. Representasi atau kehadiran perempuan dalam politik sangat penting. Bukan saja untuk legitimasi demokrasi melalui pelibatan seluruh kelompok masyarakat, tetapi juga dimensi pemberdayaan mengingat status perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Ditegaskan, selama ini dunia politik cenderung dipahami politik formal, padahal sebetulnya sangat dekat dengan persoalan perempuan.
“Harga bumbu dapur, sembako, kesejahteraan keluarga yang menjadi isu perempuan ditentukan oleh kebijakan yang dibuat oleh wakil terpilih di Pemilu,” ujar Koordinator Divisi Organisasi Bawaslu Provinsi Jawa Timur ini, di depan para peserta yang merupakan para perempuan perwakilan dari berbagai organisasi, baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (Ormas), kampus, kalangan profesi, pemilih pemula serta perwakilan media massa.
Perempuan asli Kota Kediri ini mengingatkan, perempuan tidak boleh apatis, harus melek politik. Bukan saja sekadar menyalurkan hak pilih untuk memilih wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan kaum perempuan, namun juga mengawal agar proses Pemilu tidak terciderai kecurangan dan manipulasi terhadap aspirasi yang disampaikan melalui bilik suara. Maka dari itu, perempuan harus makin berdaya. Tidak lagi menjadi target atau sasaran politik uang dan bahkan bisa menggali potensinya menjadi kader perubahan untuk menolak politik uang.
Diungkapkan pula, isu spesifik perempuan seperti hambatan untuk bisa berpartisipasi dalam Pemilu belum terlalu dikenali. Padahal banyak yang minim akses info pemilu. Rendahnya pendidikan dan norma social, budaya tabu, masih membatasi perempuan. Dalam konteks pengawasan potensi perempuan juga belum tergali maksimal. Disamping kesadaran politik yang masih rendah, isu hambatan domestik dan hambatan mental, kurang pede, membuat banyak perempuan kurang peduli pada proses politik seperti Pemilu. Padahal dengan peran gender sebagai pendidik di keluarga perempuan, punya potensi menjadi kader pengawasan yang baik dan mengembangkan budaya demokrasi dalam keluarga.
“Dengan potensinya yang besar untuk mendorong perubahan, Bawaslu sangat berharap ke depan akan semakin banyak perempuan kader pengawasan. Karena sejatinya, seharusnya Bawaslu ke depan menjalankan fungsi transformatif dimana pengawasan akan bertumpu pada masyarakat,” harap perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini.
Sedangkan narasumber perempuan lainnya, yaitu Dian Pratmawati menggarisbawahi bahwa keterlibatan perempuan sebagai pengawas Pemilu terbilang rendah. Padahal, jabatan pengawas Pemilu bisa diduduki siapa saja, baik untuk kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Karena itu, kaum perempuan harus lebih akfif lagi, kembangkan segala potensi yang ada, hak kaum perempuan sama dengan hak kaum laki-laki.
“Dari Pemilu ke Pemilu, jumlah pemilih perempuan selalu di atas jumlah pemilik laki-laki. Mari kita lebih aktif lagi,” tutur perempuan murah senyum ini.
Karena itu, mantan aktivis HMI ini mengajak para perempuan agar benar-benar sadar politik. Perempuan bisa menjadi pengawas Pemilu di tengah maraknya praktik pelanggaran, seperti politik uang, politisasi birokrasi serta penggelembungan suara. Disadarinya, tantangan yang dihadapi perempuan cukup banyak. Tantangan tersebut harus bisa dilewati, agar para perempuan bisa lebih leluasa dalam pengembangan diri dan potensinya. Bahkan menurutnya, regulasi yang ada saat ini, belum sepenuhnya ramah gender.
“Kita sadar, perempuan kerap terbentur dengan aturan-aturan budaya yang membatasi perannya serta kurangnya dukungan dari keluarga,” pungkasnya.
Sementara narasumber berikutnya, Ketua KPU Kota Mojokerto Syaifu Amin menambahkan, peran perempuan dalam Pemilu itu sangat banyak. Antara lain, perempuan adalah bagian dari masyarakat, peran dan partisipasi perempuan secara aktfi dan kritis diperlukan agar tidak terjadi praktik-praktik penyimpangan Pemilu secara terbuka. Namun dia juga menyadari bahwa selama ini keterlibatan perempuan dalam proses pengawasan Pemilu masih rendah. Menurutnya, hal ini terjadi karena masih adanya kekhawatiran dari kaum perempuan itu sendiri dalam proses kepemiluan yang berlangsung.
“Bila kaum perempuan sudah bersatu seperti ini, saya rasa kekhawatiran-kekhawatiran itu hilang, dan para perempuan bisa ikut andil untuk mensukseskan Pemilu ini,” harapnya.